Bahasa dan hukum adalah dua cabang ilmu yang saling
berhubungan. Bahasa adalah alat untuk menjelaskan suatu peraturan atau hukum.
Hukum menjadi lebih mudah dipahami bila dinyatakan dengan bahasa yang baik dan
benar. Bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan dalam
bidang hukum yang harus memenuhi syarat-syarat dan kaidah-kaidah bahasa
Indonesia. Agar bahasa hukum bisa efektif, istilah, komposisi, serta gaya
bahasa yang khas dalam bahasa hukum harus tetap mengikuti tata bahasa Indonesia
yang terang, monosemantik, dan eklektik (Hadikusuma, 2010: 1).
Selain efektif bahasa hukum juga harus efisien, yaitu
ringkas tetapi padat agar sistematika dan substansinya tetap terbaca jelas. Ketentuan
ini berlaku juga saat menyusun perjanjian perdamaian.
Istilah perjanjian diatur di Pasal 1313 KUH Perdata dan istilah
perdamaian diatur di Pasal 1851 KUH Perdata. Sebagai sebuah perjanjian
perdamaian, Kesepakatan Perdamaian Mediasi yang diatur di Pasal 1 Ayat (8) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 harus disusun dengan sintaksis
bahasa hukum yang yang tegas, jelas, lugas, dan bertafsir tunggal. Pasal 31
Ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 29 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan mensyaratkan bahwa perjanjian harus menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bila tidak ditulis menggunakan bahasa
Indonesia, maka perjanjian diangap bertentangan
dengan Pasal 31 Ayat (1) UU
No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
sebagai perjanjian terlarang
karena dibuat dengan sebab yang terlarang.
Keharusan penggunaan bahasa Indonesia berimplikasi pada ketaatan pada kaidah
bahasa Indonesia, termasuk sintaksis.
Sintaksis adalah cabang ilmu bahasa
yang mengkaji susunan kalimat dan bagian-bagiannya (KBBI, 2003: 713). Sementara itu, Suhardi (2012: 13)
menyebutkan bahwa sintaksis adalah ilmu yang mengkaji kata, frasa, klausa, dan
kalimat. Sintaksis berperan dalam meningkatkan kualitas dialektika naskah hukum
karena ilmu sintaksis menuntun cara memilih kata yang pas, tanda baca yang
sesuai, komposisi yang lengkap, dan struktur yang runtut.
Sebagai sebuah undang-undang bagi para pihak yang
menyusunnya (pacta sunct servanda), kesepakatan
perdamaian mediasi tak bisa terlepas dari politik hukum, yaitu cara
mengungkapkan maksud atau kehendak yang tersurat dan tersirat melalui kata-kata
dan kalimat-kalimat (semantik), dan teknik hukum tertentu, yaitu cara menyusun
kesepakatan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat (sintaksis) yang tepat
makna dan mudah dipahami (Hadikusuma,
2010: 20). Kesepakatan Perdamaian Mediasi akan lebih mudah dipahami
melalui interpretasi otentik
(semantik) maupun interpretasi gramatika (sintaksis).
Masalah utama dalam penerapan sintaksis pada naskah hukum
seperti kesepakatan perdamaian mediasi diantaranya adalah pilihan kata, tanda
baca, komposisi , dan struktur. Pilihan kata yang tidak tepat pada naskah hukum
bisa mengaburkan maksud. Sebagai contoh istilah kredit, leasing, pailit, factoring, dan sale and lease back masih sering disalah mengerti.
Kelemahan lain adalah kesalahan pemakaian tanda baca.
Tanda baca yang keliru bisa mengaburkan maksud. Sebagai contoh, suatu klausul
yang mestinya diakhiri tanda titik tetapi diberi tanda koma, akan menunjukkan
bahwa kedua klausul itu bersifat komplementer. Tentu ini berbahaya bila yang
dimaksud adalah kedua klausul itu berdiri sendiri.
Kelemahan berikutnya adalah buruknya penguasaan komposisi
gramatika. Kalimat yang bertele-tele (verbose) dan berulang-ulang (redundant) atau sebaliknya kalimat yang
tidak lengkap bisa mengaburkan substansi dan kausalitas. Ini bertentangan
dengan sifat perjanjian yang harus lugas, tegas, dan ringkas.
Kelemahan terakhir adalah ketidakruntutan struktur.
Urutan kata dalam suatu kalimat menentukan seberapa penting kata tersebut
dibanding kata-kata lain dalam kalimat. Tidak urutnya struktur kalimat juga
mengacaukan hubungan kausalitas antara satu kejadian dengan kejadian lainnya,
sehingga mengacaukan logika hukum.
Penerapan sintaksis yang baik dan benar bisa memperjelas apa
yang diperjanjikan, siapa yang saling berjanji, dan akibat yuridis apa yang
timbul darinya. Naskah hukum seperti kesepakatan perdamaian mediasi semestinya
mematuhi kaidah sintaksis, selain semantik, agar bisa dipahami dengan mudah dan
tidak menimbulkan salah penafsiran.
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
pintarbahasa@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar