Sintaksis dalam Bahasa Hukum
Sintaksis berhubungan dengan pilihan
kata, penggunaan tanda baca, komposisi,
dan struktur. Pemilihan kata yang tepat bisa
merepresentasikan makna yang sesuai, sedangkan tanda baca yang benar bisa
menjelaskan makna unit-unit dalam kalimat. Sementara itu, komposisi kalimat
yang lengkap akan menjamin terwakilinya setiap unsur kalimat. Terakhir,
struktur memainkan peran penting dalam membangun logika dan kausalitas dalam
bahasa hukum.
a.
Pilihan Kata
Pilihan kata memainkan peran penting dalam menjelaskan suatu
maksud suatu perjanjian atau kesepakatan. Sebagai contoh, oleh sebagian orang, istilah perikatan (bond), perjanjian (contract), persetujuan (consent),
dan kesepakatan (agreement) dianggap
sebagai kata yang padan dan setara, meskipun ada yang menganggap mereka
berbeda, paling tidak bobotnya. Demikian pula kata ‘berhak’ jelas berbeda
dengan ‘berwenang’. Kata ‘harus’ jelas
berbeda bobot dengan ‘wajib’. Bahkan
pengertian subjek dalam tata bahasa umum berbeda dengan subjek dalam bahasa
hukum (Soekanto dalam Hadikusuma, 2010: 5).
Keberadaan makna denotatif dan makna konotatif bisa
merumitkan masalah. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2010: 220), makna denotatif adalah makna yang lugas, apa adanya.
Sementara itu makna konotatif adalah makna yang ditambahkan pada makna yang
sesungguhnya. Kata prestasi, kontraprestasi, dan wanprestasi adalah contoh
jargon yang khas dalam peristiwa perdata. Demikian pula kata perikatan, perjanjian,
dan persetujuan. Kata “dikontrakkan”
berkonotasi “disewakan” meskipun secara denotatif berarti “diperjanjikan”. Ada
pergeseran arti dari “kontrak sewa- menyewa” menjadi sekedar “kontrak”. Bahasa
hukum juga mengenal istilah barang tetap seperti tanah dan barang tidak tetap
seperti perhiasan emas (Hadikusuma, 2010: 16).
Beberapa istilah hukum, seringkali tidak tepat, sukar
diterapkan, tidak logis, atau hiperbolis. Sebagai contoh, penyamaan antara MoU
dengan perjanjian adalah tidak tepat. MoU hanyalah dokumen yang menyatakan sekedar
saling mengerti dan bukan saling berjanji. Sementara itu, contoh istilah hukum
bisnis yang sukar diterapkan adalah “riba”. Secara denotatif leksikal “riba”
adalah “bunga uang” (interest) tapi
secara konotatif “riba” adalah “rente” (usury)”.
Bahasa Belanda juga membedakan antara riba (woeker)
dan bunga uang (rente). Disebut riba
bila dipungut dari pinjaman orang-orang yang terpaksa atau terdesak, seperti
untuk membayar biaya perawatan kesehatan atau untuk makan sehari-hari. Di sisi
lain, bunga dihasilkan dari imbal hasil pinjaman untuk keperluan produksi atau
konsumsi di luar kebutuhan mendesak. Tapi
kemudian muncul ambivalensi leksikal, dimana orang yang meminjamkan uang dengan
bunga mencekik disebut rentenir. (Bertens, 2000: 52).
Sementara itu penggunaan istilah hiperbolis misalnya pacta sunct servanda. Secara teori
yuridis, perjanjian memang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya, tetapi secara praksis perjanjian sangat mudah diingkari tanpa
sanksi. Demikian dengan istilah “teori fiksi”, menganggap semua orang tahu
hukum adalah sesuatu yang tidak logis.
b.
Tanda Baca
Tanda baca seperti tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru
penting untuk menandai akhir suatu kalimat (Alwi et al dalam Putrayasa, 2014:
20). Tanda baca lain seperti koma, titik koma, dan titik dua punya peran
masing-masing sebagaimana yang diatur
dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2016: 36-56).
Ketidaktepatan penggunaan tanda baca juga memengaruhi
keringkasan sekaligus kejelasan makna suatu naskah hukum. Sebagai contoh, ketidaktepatan pemakaian tanda
titik mengakibatkan tidak jelasnya subjek maupun predikat. Banyak orang salah menempatkan
titik di akhir frasa padahal frasa hanyalah kumpulan kata yang tidak
menunjukkan gagasan kausalitas. Akibatnya, tidak jelas siapa yang melakukan apa
karena tidak jelas konstituen kalimatnya (Alwi et al dalam Putrayasa, 2014: 20).
Sebaliknya, tanda titik (.) juga hanya digunakan di akhir rangkaian
frasa atau klausa dalam klausul perjanjian. Di akhir setiap frasa atau klausa
yang masih berlanjut dengan frasa atau klausa lain digunakan tanda titik koma
(;). Aturan gramatika ini menyiratkan bahwa setiap frasa atau klausa
berhubungan dengan frasa atau klausa lainnya untuk membentuk satu kesatuan yang
utuh.
c.
Komposisi
Menurut Putrayasa (2014: 25) kalimat terdiri dari satu klausa
yang memiliki unsur lengkap yang mengikuti urutan yang paling umum, dan tidak
mengandung pertanyaan atau pengingkaran.
Kalimat bisa memiliki komposisi tunggal atau majemuk. Kalimat
tunggal dan sederhana tersusun dari subjek dan predikat sedangkan kalimat
majemuk terdiri dari dua anak kalimat atau lebih (Putrayasa, 2006: 26-55).
Kalimat yang efektif adalah kalimat yang memuat kalimat inti yang
mengandung unsur subjek dan unsur predikat (Suhardi 2013: 83).
Kalimat yang terlalu panjang atau terlalu pendek rawan menimbulkan
kerancuan maksud dan kausalitas hubungan karena kaburnya hubungan antar konstituen
gramatika.
Bahasa hukum mensyaratkan (a) Pernyataan pasal atau ayat dalam
bentuk proposisi (paling tidak memiliki Subjek dan Predikat); (b) Kesatuan yang padu, padan, dan utuh antar
pasal dan ayat; (c) kelugasan, kejelasan, dan ketidak-taksaan; (d) Efektivitas kalimat;
dan (e) kesesuaian dengan kaidah Pedoman
Umum Ejahan Bahasa Indonesia.
d.
Struktur
Bahasa hukum disebut efektif jika
mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan oleh pembicara (penulis)
tergambar lengkap dalam pikiran si pendengar (pembaca). Dengan kata lain, pesan
yang diterima oleh pembaca atau pendengar sama dengan yang dikehendaki oleh
penulis atau pembicara. Kalimat efektif memiliki ciri fokus, hemat, utuh,
terpaut, dan sejajar (Moeliono, 2002: 7).
Kalimat bahasa hukum yang fokus
menempatkan sesuatu yang dipentingkan di bagian awal kalimat. Kalimat disebut
hemat bila tidak bertele-tele (verbose)
atau mengulang sinonim (redundant). Sementara itu, keutuhan kalimt menyiratkan
kepaduan dan kekompakan dan keterpautan (cohesion)
kalimat ditunjukkan dengan terjalinnya hubungan yang serasi antara satu unsur
dengan unsur lain. Terakhir, syarat kesejajaran kalimat terpenuhi bila kalimat
menggunakan bentuk yang paralel (terutama penggunaan imbuhan)
dan struktur yang paralel (terutama kalimat majemuk).
Kalimat yang efektif juga memiliki struktur yang urut atau
runtut, yaitu dimulai dari subjek, diikuti predikat, dan objek, kecuali anomali
kalimat yang tidak lengkap (elipsis) dan tidak urut (inversi).
Elipsis adalah penghapusan sebagian unsur kalimat karena
sudah diketahui maknanya karena sudah disebutkan sebelumnya atau sudah tersirat
maknanya, seperti pada struktur majemuk atau frasa (Quirk, 1987: 330)..
Inversi adalah pembalikan struktur kalimat dengan maksud
mengedepankan unsur kata tertentu dan memberi bobot lebih pada kata tersebut (Quirk,
1987: 555). Struktur inversi biasanya dimulai dari kata-kata negatif atau
hampir negatif.
Supriyono, SH, S.Pd., SE, MM, CM
pintarbahasa@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar