Sebagai cabang linguistik baru, linguistik forensik melibatkan
banyak disiplin ilmu, diantaranya ilmu bahasa, ilmu hukum, ilmu kejiwaan, dan ilmu
sosial. Secara khusus, linguistik forensik merupakan kombinasi antara ilmu
bahasa dan ilmu hukum. Tujuannya adalah memecahkan suatu
masalah perselisihan atau kejahatan. Olsson (2008:3) mengatakan
bahwa linguistik forensik berhubungan erat dengan hukum, perundang-undangan,
perselisihan, atau proses hukum yang
memerlukan penyelesaian hukum.
Linguistik forensik diperkenalkan sejak 1980. Linguistik
forensik telah dikembangkan di Amerika
dan Eropa sejak tahun 1997 (Momemi, 2011). Sejak itu,
ahli bahasa menegakan bahwa realitas bahasa bisa dideteksi dan menjadi bukti di
pengadilan.
Kejahatan berbahasa seperti penghinaan, ancaman,
penipuan, dan bahasa palsu (pragmatik) dapat dipelajari dari sudut pandang
linguistik. Linguistik forensik juga bisa digunakan mengetahui niat kejahatan
seperti pencurian, penculikan dan pembunuhan yang melibatkan bahasa sebelum
terjadinya kejahatan.
Linguistik forensik bermanfaat untuk menganalisis tindakan
kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa lisan maupun tulisan. Menurut Coulthard
and Johnson (2010) linguistik forensik berusaha menemukan bukti melalui
analisis bahasa dalam proses hukum.
Di Amerika linguistik forensik sudah banyak diterapkan
dalam persidangan kasus kejahatan. Menurut Smith (2002) pengertian linguistik
forensik adalah meneliti suatu tindak pidana melalui bahasa seseorang. Motif kejahatan bisa dikenali dari perilaku
pelaku di tempat kejadian perkara dan interaksinya dengan
para korban. Linguistik forensik juga bermanfaat dalam mendeskripsikan
kepribadian dan karakteristik pelaku melalui bahasa yang mereka gunakan.
Supriyono,
SH, S.Pd.,SE, MM, CM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar